Petruk menjadi ratu
Alkisah, tuannya, Abimanyu menanggung derita sakit.Berbarengan dengan sakitnya, pergilah ketiga wahyu yang dipunyainya, yaitu wahyu Maningrat, yang menyebarkan benih keratuan, wahyu Cakraningrat, yang melindungi keberadaannya untuk ratu, serta wahyu Widayat, yang melestarikan hidupnya untuk ratu.
Ketiga wahyu itu lalu hinggap di diri Petruk, yang pada akhirnya bisa menjadi raja di negara yang dinamainya Lojitengara. Ia menggelari dirinya sendiri dengan julukan Prabu Wel-Geduwel Beh. Namun kenyataannya untuk dapat tetap kukuh sebagai raja, ia memerlukan damper kerajaan Astina. Untuk itulah ia menyuruh patihnya Bayutinaya (titisan Anuman) dan Wisandhanu (titisan Wisanggeni) untuk mengambil tahta Palasara tersebut.
Ketika kedua utusannya telah berhasil mengambil tahta tersebut, Prabu Wel Geduwel Beh mencoba duduk di atasnya. Namun, berkali-kali dia duduk berkali-kali pula dia terjungkal. Akhirnya melalui bisikan penasehat kerajaannya, Prabu Wel Geduwel Beh tahu bahwa Prabu Wel Geduwel Beh harus memangku terlebih dahulu Abimanyu yang tengah dirundung sakit.
Ajaib. Saat Abimanyu dipangku oleh Prabu Wel Geduwel Beh, Abimanyu langsung pulih dari sakitnya.
Saat itulah Petruk sadar bahwa keluarnya ketiga wahyu dari tuannya hanya untuk menjadi penitik siapakah yang dapat memangku orang yang kedunungan wahyu sebagai raja. Seorang raja tidak akan pernah menjadi raja jika tidak dipangku oleh rakyatnya.
Rakyat akan ada sepanjang jaman. Sedangkan raja, dia hanya hidup sesaat. Kehidupan raja tidaklah kekal. Kehidupan raja sangat bergantung kepada kawulanya untuk bisa menyempurnakan kehidupan sang raja tersebut. Adanya rakyat itu tanpa batas. Sebaliknya adanya (kekuasaan) raja itu sangat terbatas.
Petruk semakin mengerti, siapa diri rakyat itu sesungguhnya. Hanya rakyat yang bisa menolong penguasa untuk menuliskan sejarahnya.Untuk itulah sudah semestinya seorang raja menghormati kawulanya/rakyatnya. Tidak malah menjarah hidup kawulanya dan berlaku sewenang-wenang ketika menjadi penguasa. Penguasa itu mesti berkorban untuk kawula, Karena tanpa kawula, tidak akan pernah seorang raja menaiki tahtanya di dalam kekuasaannya.
Raja dan rakyat harus sama-sama saling menjaga, menghormati, dan saling memangku
Tapi Ki Petruk, mengapa banyak penguasa yang tak memperhatikan kawula,menginjak-injak dan menghina kawula, toh tetap dapat duduk di tahtanya?
"Dalam pewayangan pun ada penguasa yang tak dipangku rakyat seperti saya. Dia adalah Dasamuka yang lalim. Dia adalah Duryudana yang serakah. Seperti halnya hanya ada satu tahta Palasara, demikian pula hanya ada satu tahta rakyat. Duryudana berkuasa, tapi tak pernah berhasil menduduki tahta Palasara. Banyak penguasa berkuasa, tapi mereka sebenarnya tidak bertahta di dampar yang sebenarnya, yakni dampar rakyat ini", jawab Petruk.
Tiba-tiba Petruk mendengar, tanah datar di hadapannya itu bersenandung. Makin lama semakin keras bahkan menjadi senandung Panitisastra: dulu tanah itu adalah hutan lebat yang bersinga. Singa bilang, kalau hutan tak kujaga tentu ia akan dibabat habis oleh manusia. Dan hutan bilang, kalau singa tak kunaungi dan pergi dariku, pasti ia akan ditangkap oleh manusia. Akhirnya singa dan hutan sama-sama binasa. Singa yang tak berhutan dibunuh manusia, hutan yang tak bersinga dibabat manusia….
"Raja dan rakyat harus wengku-winengku (saling memangku), rangkul-merangkul, seperti singa dan hutan, seperti Abimanyu dan Petruk", kata Ki petruk menyenandung tembang Panitisastra.