Minggu, 02 Maret 2014

Lakon Abimanyu Gugur

Lakon Abimanyu Gugur

Lakon Abimanyu Gugur

Akhirnya barisan Pandawa Mandalayuda bisa kembali solid setelah kehadiran Abimanyu di tengah palagan. Amukan Abimanyu di atas punggung kuda Pramugari, seperti banteng terluka. Kuda tunggangan Abimanyu seperti tahu seluruh tekad penunggangnya, berkelebat menangani musuh yang mengurung. Gerakannya gesit seperti sambaran burung sikatan. Olah seluruhpanah yang dipunyai penungangnya untuk menumpas musuh dari jarak jauh, serta keris Pulanggeni untuk merobohkan musuh didekatnya tidak lama telah memakan korban puluhan nyawa.Juga Arya Dursasana yang akan membekuk justru terkena panah Abimanyu. Meskipun tak mempan, tetapi kerasnya pukulan anak panah membuatnya  muntah darah. Lari tunggang langgang Arya Dursasana menjauhi palagan.

Haswaketu yang coba menandingi kesaktian Abimanyu, tewas pula tersambar Kyai Pulanggeni warisan sang bapak, Arjuna. Raungan kesakitan bergema dari mulut Haswaketu membikin jeri kawannya, Prabu Wrahatbala dari Kusala.
Tetapi, Prabu Wrahatbala nekad maju mendekati Abimanyu. keduanya sudah bertemu. Gerakan Wrahatbala yang kalah wibawa dengan Abimanyu yang  muda tetapi gagah berani, membuatnya benar-benar canggung. Tidak berapa lama raga Wrahatbala juga menyusul rekannya tersambar Kyai Pulanggeni.

Tetapi di segi yang lain, berlangsung juga hal yang sama. Bambang Sumitra serta Bambang Wilugangga, masing-masing terbunuh oleh panah Adipati Karna serta Prabu Salya. Gugurlah beberapa pendekar bangsa. darahnya membasahi ibu pertiwi.
Tetapi bukan hanya Abimanyu apabila tak dapat menangani serangan empat raja sakti dari beragam penjuru. Licin seperti belut, Abimanyu menghindari serangan bergelombang dengan senjata ditangan masing masing lawannya.
Kelihatanlah kemampuan masing masing pihak.

Selang beberapa saat, saat pedang Mahameya terpental lantaran lengannya terpukul Abimanyu, seketika itu pula senjata Kyai Pulanggeni milik Abimanyu menusuk lambungnya. Robohlah Mahameya tersungkur ke bumi. Satu lawan kembali roboh. Tiga lawan yang masih bersisa menjadi ciut nyalinya. Gerakan mereka makin tak terkendali. Satu demi satu, Abimanyu berhasil membunuh lawan-lawan tangguhnya : Swarcas, Satrujaya, dan terakhir adalah Suryabasa

Pandita Durna benar-benar mengagumi akan kegagahan dan keberanian  prajurit muda belia itu.
Selekasnya di panggilnya Sangkuni serta Adipati Karna dan Jayadrata. Sesudah mereka menghadap, Pandita Durna menguraikan karti sampeka akal akalannya. Dia menyuruh supaya pihak Kurawa mengibarkan bendera putih untuk sinyal tanda menyerah. Kemudian, dimintanya Basukarna untuk maju serta merangkul Abimanyu seperti seseorang ayah terhadap anaknya.

Sesudah siasat itu sukses dikerjakan, sesaat kemudian, Jayadrata melakukan perannya dengan memanah punggung Abimanyu. Tindakan yang licik dan tidak ksatria. Saat itu juga, muncratlah darah dari punggung Abimanyu. Tidak tega Basukarna melihat keponakannaya bersimbah darah, saat itu juga dia undur kebelakang serta melaporkan kesuksesannya pada pandita Durna

Sepeninggal Adipati Karna, selekasnya Durna memberikan aba-aba untuk kembali menyerang. Tetapi Abimanyu tidaklah gentar, ia makin bergerak maju menyambut serangan.

Melihat lawannya terkena panah yang  menancap di punggungnya, aba aba keroyok bersahut sahutan dari pihak Kurawa. Dari jauh anak panah lain dilepaskan oleh warga Kurawa, ada pula yang menghunjamkan  tombak serta nenggala dan trisula bertubi tubi. Dalam kurun waktu singkat, semua jenis senjata menancap ditubuh satria muda itu.

Tetapi hebatnya satria muda yang terluka parah ini tetap maju dengan amukannya. Dari  jauh gerakan sang prajurit muda itu seperti gerak seekor landak, saking banyaknya anak panah serta tombak yang menancap di sekujur badannya. Jadi apabila digambarkan lebih jauh lagi, ujud dari satria tampan ini seperti penganten tengah diarak. Kepala yang penuh senjata seperti karangan bunga yang terangkai sedangkan badannya seperti kembar mayang yang melingkari raganya. Ada beberapa senjata tajam mengiris perutnya. Usus yang memburai yang disampirkan pada duwung yang terselip di pinggangnya, seperti untaian melati menghiasi pinggang.

Dilain pihak, dalam pikiran Abimanyu teringat  sumpahnya saat menghindar dari pertanyaan istri pertamanya, Retna Siti Sundari, saat berprasangka buruk bahwasa sang suami telah beristri lagi. Sumpah yang diiringi gemuruh petir, bahwasanya apabila ia berlaku poligami, maka bolehlah orang senegara meranjap badannya dengan senjata apa pun.

Waktu itu ia terlepas dari tuduhan Siti Sundari, tetapi sesudah Kalabendana raksasa boncel lugu, paman Raden Gatutkaca, mengungkapkan rahasia perkawinannya dengan Putri Wirata, kusuma Dewi Utari, pada akhirnya terbuka juga rahasia yang semula tertutup rapi. Walaupun tidak terjadi peristiwa apapun juga pada waktu itu, namun sumpah tetaplah sumpah. Dan inilah bayaran atas sumpahnya pada waktu itu.

Syahdan, Retna Siti Sundari yang cuma diiring oleh abdi emban menyusul ke peperangan,  berbarengan dengan gugurnya sang suami terkasih. Oleh istri tuanya, Utari tak diperkenankan pergi bersamanya, karena telah mengandung tua.Pun juga ibu mertuanya yaitu Wara Sembadra melarang pula Utari untuk pergi

Saat terdengar teriakan gemuruh menyebutkan Abimanyu sudah gugur, jantung wanita muda ini semakin berdegup kencang. Ia selekasnya lari ketengah palagan tiada menghiraukan bahaya yang mengintip di antara tajamnya kilap bilah-bilah pedang serta runcingnya ujung tombak. Sesampai dihadapan jenasah suaminya yang tetancap beberapa ratus anak panah. Tak terbayang pada mulanya bakal keadaannya yang demikian mengenaskan, Siti Sundari lemas serta lalu tidak sadarkan diri. Situasi rasa sedih jadi tambah mencekam dengan pingsannya sang istri prajurit muda itu.

Sebentar kemudian setelah Retna Siti Sundari tersadar dari siuman,  selekasnya dia menghunus patrem, keris kecil yang terselip dipinggangnya. Dihujamkan senjata itu ke ulu hati. Selekasnya arwah sang prajurit muda, Abimanyu, menggandeng tangan sukma istrinya, mengajaknya melalui tangga tangga kesucian kekal menuju swargaloka. Raga sepasang suami istri muda belia itu tergolek berdampingan. Mereka sudah kembali ke pangkuan ibu pertiwi.

Karakteristik Dewi Drupadi

Karakteristik Dewi Drupadi
Karakteristik Dewi Drupadi


Dewi Drupadi merupakan puteri sulung Prabu Drupada, Raja Cempalaradya. Nama yang lain yaitu Dewi Krisna, Dewi Yajnaseni, atau mungkin Dewi Pancali. Sesudah dewasa, ayahnya mengadakan  sayembara untuk mencarikan jodoh buatnya. Ada dua versus sayembara. Versus pertama yaitu versus Mahabarata, dalam sayembara ini diumumkan, barangsiapa bisa mementang Gendewa Pusaka, yakni busur panah punya Kerajaan Pancala, bakal dikawinkan dengan Dewi Drupadi. Dalam sayembara ini, sesungguhnya Basukarna sukses mementangkan Gendewa Pusaka, namun sebelum saat Karna memakai untuk memanah tujuan yang ditetapkan, Dewi Drupadi berucap, bahwa dia tidak bisa menikah dengan orang yang bukan keturunan dari bangsawan. Mendengar perkataan itu dengan muka merah Basukarna segera jalan keluar istana. Arjuna lah yang pada akhirnya memenangkan sayembara ini.

Versus yang kedua yaitu versus yang umum dipergelarkan dalam pewayangan. Sayembara ini mengatakan bahwasanya barangsiapa bisa menaklukkan Patih Gandamana maka dia memiliki hak memboyong Dewi Drupadi. Pada akhirnya yang sukses memenangkan sayembara ini yaitu Bima. Bima turun gelanggang serta sukses menaklukkan Patih Gandamana. Mendekati waktu ajalnya, Patih Gandamana mewariskan aji Wungkal Bener serta Bandung Bandawasa pada Bima. Saat itu Bima turut dalam sayembara mewakili kakaknya, Puntadewa. Menurut versus Mahabarata, Dewi Drupadi pada akhirnya jadi istri ke lima Pandawa, namun lantaran hal semacam ini tak umum menurut budaya Nusantara, Dewi Drupadi cuma menikah dengan Puntadewa.  Dewi Drupadi yang disebut titisan Dewi Srigati ini senantiasa turut dalam beragam duka serta derita beberapa Pandawa. Dari pernikahannya dengan Puntadewa, Dewi Drupadi memiliki seseorang anak bernama Pancawala.

Dewi Drupadi merupakan simbol wanita yang setia serta tahan banting terhadap semua jenis penderitaan, walau sebenarnya dia puteri Raja. Sesudah menikah dengan Puntadewa, tiada pernah sedilitpun mengeluh. Dewi Drupadi sempat melakukan hidup sebagai pengelana dengan keluar masuk rimba. Mereka cuma hidup dari pemberian orang, lantaran pada saat itu beberapa Pandawa tengah melakukan hidup  brahmana, sesudah momen Bale Sigala-gala. Dewi Drupadi baru bisa hidup lumrah layaknya seorang permaisuri, saat Pandawa usai membangun Kerajaan Amarta. Tetapi kewajaran itu tak berjalan lama, lantaran Pandawa harus kalah dalam permainan judi dadu, yang disebabkan siasat licik dari Patih Sangkuni.

Tetapi selain beberapa watak baiknya, Dewi Drupadi juga memiliki karakter yang kurang baik, yaitu berlidah tajam. Tak hanya sempat menyinggung perasaan Basukarna dengan menyampaikan tak sudi kawin dengan orang yang bukan  kelompok bangsawan, dia juga menghina Prabu Duryudana yang disebutkan sebagai anak orang buta. Lantaran perlakuan Drupadi yang seperti itu, maka saat Pandawa kalah dalam permainan dadu, Adipati Karna melampiaskan dendamnya dengan memanas-manasi Dursasana supaya menelanjangi Drupadi, sedang Prabu Duryudana tertawa senang melihat Drupadi dipermalukan dihadapan beberapa orang. Dihadapan beberapa Pandawa, putri Raja Cempala yang juga permaisuri Raja Amarta itu diseret Dursasana dengan menarik rambutnya. Lalu dihadapan orang ramai, Dursasana menarik kain yang dikenakan Dewi Drupadi, tetapi dengan cara yang gaib tiba-tiba senantiasa nampak kain baru yang menyelimuti badannya. Itu seluruhnya karena pertolongan Batara Darma, Dursasana yang berkali-kali menarik kain Dewi Drupadi akhirnya jatuh kelelahan dan tidak berhasil menelanjangi Drupadi. Saat tersebut Dewi Drupadi bersumpah tak akan lagi menyanggul rambutnya sebelum  dikeramas dengan darah Dursasana. Sumpah Dewi Drupadi pada akhirnya terwujud, dalam Baratayuda, Bima sukses membunuh Dursasana serta merobek dada lawannya itu lalu menghirup darahnya. Dengan mulutnya Bima membawa darah Dursasana untuk diberikan pada Drupadi buat keramas rambutnya.

Sesudah usai  pembuangan di rimba Kamiyaka sepanjang 12 tahun, Pandawa serta Dewi Drupadi masih juga hidup menyamar sepanjang satu tahun. Saat bersembunyi di Kerajaan Wirata, Dewi Drupadi menyamar menjadi dayang istana yang melayani permaisuri Raja, dia menggunakan nama samaran Malini atau mungkin Sairandri. Pada saat beberapa Pandawa mengadakan perjalanan kelana untuk menjemput kematian, Dewi Drupadi mengikuti mereka. Nyatanya dalam perjalanan itu, Drupadi lah yang lebih dahulu mati. Lidahnya yang tajam serta sempat melukai hati sebagian besar orang,  dianggap sebagai dosa paling besar oleh Batara Yamadipati.