Kamis, 25 Desember 2014

Tokoh Wayang Dewi Kunti

Dewi Kunti atau Perta sebenarnya adalah anak dari Surasena, raja wangsa Yadawa. Ketika Kunti masih kecil, ia dipungut anak oleh raja Kuntiboja karena raja tersebut tidak mempunyai anak. Untuk itulah akhirnya namanya berubah menjadi Kunti yang maksudnya adalah anak Kuntiboja. Dewi Kunti bersaudara dengan Basudewa, ayah dari Baladewa, Kresna, dan Sembadra.
Dewi Kunti menikah dengan raden Pandu dan mempunyai tiga orang anak: Yudistira, Bimasena, dan Arjuna. Pada waktu masih muda, Kunti pernah menyalahgunakan ajian Pameling yang dianugerahkan kepadanya untuk memanggil Dewa Surya. Akibatnya, Kunti mendapatkan anugerah seorang anak . Karena Kunti masih belum bersuami maka anak yang masih bayi tersebut dihanyutkan di sungai Gangga. Kelak, seorang kusir kereta bernama Adirata dari negeri Hastinapura memungutnya sebagai anak dan menamainya Basukarno.
Selain Yudistira, Bimasena dan Arjuna, Kunti juga menjadi ibu asuh bagi Nakula dan Sadewa. Nakula dan Sadewa adalah anak Pandu dari istri kedua yaitu Dewi Madrim. Sepeninggal Pandu dan Dewi Madrim, Kunti mengasuh Nakula dan Sadewa sebagaimana anaknya sendiri.

Beberapa hari sebelum perang Bharatayudha dimulai, Kunti mendapatkan pemberitahuan dari Krisna bahwa Adipati Karno adalah putranya dari Btara Surya yang ia hanyutkan di sungai Gangga. Betapa terkejut Kunti tiada terkira. Namun sebenarnya iapun sudah menduga dari anting dan baju yang dipakai Karno. Anting dan baju tersebut adalah pemberian Dewa Surya yang ikut dihanyutkan bersama Karno ketika bayi.
Dengan perasaan yang berkecamuk antara rindu dan perasaan berdosa, Kunti menemui Karno yang sedang bersemedi di tepian sungai Gangga. Dengan sabar ia menunggu hingga Karno menyelesaikan laku semedinya. Perasaannya semakin berkecamuk setelah melihat adipati Karno selesai melakukan persembahan.
Adipati Karno ketika melihat seorang wanita bangsawan cantik sedang menunggunya seketika menghampiri dan menanyakan maksud dan tujuannya.

Perbincangan empat mata antara Kunti dan Basukarno dimulai. Kunti menceriterakan kejadian yang sebenarnya tentang siapa sejatinya Basukarno. Disertai tangisan pilu seorang ibu, Kunti memohon agar Basukarno bersedia berkumpul kembali bersama saudara-saudaranya Pandawa dan berpihak pada Pandawa. Namun jawaban dari Karno membuat hati Kunti semakin teriris. Basukarno menolak permohonan Kunti dan tetap teguh mempertahankan kesetiaannya pada Duryudana, seorang raja Hastina sekaligus sahabat yang telah mengangkat harkat dan martabatnya dari seorang sudra yang dihina dan dicemooh menjadi seorang bangsawan yang mulia. Namun Basukarno memberikan janjinya pada Kunti untuk tidak akan memerangi saudara-saudaranya yang lain selain Arjuna. Hanya akan ada peperangan hidup dan mati antara dirinya dan Arjuna. 

Setelah perang Bharatayudha berakhir, Dewi Kunti berpamitan pada anak-anaknya akan meninggalkan keduniawian dan lebih mendekatkan dirinya pada Sang Hyang Widhi. Bersama-sama dengan sepupunya, Drestarastra dan Gendari, Kunti meninggalkan istana menuju hutan di tepian sungai Gangga. Kunti dan sepupunya meninggal bersamaan terjadinya kebakaran hutan tempat mereka bertapa.

Ciri-ciri fisik Dewi Kunti dalam pewayangan. Dewi Kunti tergolong tokoh putren luruh dengan posisi muka tumungkul. Bermata liyepan, hidung lancip dengan mulut salitan. Bermahkota gulung keling dengan hiasan jamang sadasaler, sumping prabangayun. Ada penggambaran sinom yang menghiasi dahinya.Tubuh berbusana putren dengan memakai semekan, pinjung dan sampir bermotif bludiran. Dodot yang dipakai bermotif parang rusak seling gurdha dengan kain panjang bermotif cindhe puspita. Tokoh ini ditampilkan polos tanpa perhiasan. Umumnya muka dan badan gembleng.

Selasa, 23 Desember 2014

Tokoh Wayang Sengkuni

Sengkuni sebenarnya adalah putra dari raja negara Palasajenar. Ia kelak akan menggantikan sebagai raja. Sewaktu mudanya bernama Harya Suman. Ketika negara Mandura diperintah oleh Prabu Kuntiboja, baginda mengadakan perlombaan memilih calon suami bagi Dewi Kunti. Dengan diikuti adiknya perempuan, Dewi Gendari, Haryo Suman  hendak ikut serta di dalam perlombaan, tetapi terlambat datangnya. Di jalan ia berjumpa dengan Raden Pandu yang telah menang di dalam perlombaan itu. Harya Suman hendak merebut Dewi Kunti dan terjadilah perang tetapi kalah dan menyerahkan adiknya, Gendari, sebagai penebus kekalahannya itu. Setibanya di Astina, Dewi Gendari dikawinkan dengan Raden Destarastra. Dewi Gendari marah karena sebenarnya ia ingin diperistri oleh Pandu. Harya Sumanpun berjanji untuk membantu Dewi Gendari melampiaskan sakit hatinya.

Dalam pewayangan Jawa, pada mulanya Harya Suman berwajah tampan. Ia mulai menggunakan nama Sengkuni setelah wujudnya berubah buruk akibat dihajar habis-habisan oleh patih Gandamana pada masa pemerintahan raden Pandu di Hastina. Patih Gandamana tidak terima dirinya difitnah oleh Harya Suman dengan mengatakan kepada raden Pandu bahwa patih Gandamana telah berkhianat dan bersekutu dengan musuh. Setelah berwajah buruk itulah, Harya Suman berubah nama menjadi Sengkuni yang berasal dari kata "saka" dan "uni" yang artinya berubah menjadi buruk akibat ulah mulutnya sendiri.

Setelah Destarastra menjadi raja Astina, Harya Sengkuni diangkat menjadi Patih. Harya Sengkuni pandai berbicara, dan ahli dalam bidang politik dan pemerintahan tetapi ia tidak jujur. Kepandaiannya selalu digunakannya untuk bertipu daya. Tetapi karena kepandaiannya itu, ia berguna juga bagi negara Astina. Adat kelakuan yang demikian menyebabkan terjadinya di dalam bahasa Jawa perumpamaan Seperti Sakuni bagi seseorang yang banyak akalnya dan licik. Karena pandainya menggunakan bahasa dan berputar lidah, kata-kata Sengkuni selalu dalam maksudnya dan bisa menjerat lawannya. Mengingat asal-usulnya, seorang orang yang mulia dan berhak menjadi raja negara Palasajenar, tetapi sesudah ia mengikuti saudara perempuannya yang kemudian diperistri Prabu Destarastra, raja negara Astina yang mempunyai seratus orang anak, maka ia pun memberatkan Astina.

Di negara Astina, Sengkuni mempunyai sahabat karib, ialah Pandita Durna yang bersamaan tabiat dengan dia. Kedua tokoh itu memimpin Astina di dalam keadaan dan persoalan yang sulit-sulit. Di dalam pewayangan mereka umumnya dianggap tokoh-tokoh tak baik, padahal mereka bukan orang-orang sembarangan dan hanya oleh karena mereka berpihak pada Astina, dianggaplah mereka sebagai tokoh-tokoh tak baik. Dalam perang Baratayuda, Sengkuni mati dirobek-robek mulutnya oleh Wrekodara. Namun dalam versi lain, Sengkuni mati oleh senjata kuku pancanaka Wrekudara yang dimasukkan ke lubang dubur Sengkuni. Karena hanya tempat itu satu-satunya kelemahan Sengkuni.
Peristiwa-peristiwa besar yang diaktori oleh Sengkuni antara lain :" Pandawa dadu " dan "Bale sigala-gala"

Sakuni bermata kedondongan, berhidung mungkal gerang, berbentuk batu asahan yang sudah aus, bergigi gusen, berjenggot. Kedua tangannya berlainan bentuk, yang satu tangan raksasa dan yang lainnya menunjuk, seperti tangan dagelan. Bergelang, berpontoh, dan berkeroncong. Kepala berketu udeng. Bersunting kembang kluwih. Berkalung ulur-ulur. Berkain rapekan tentara, bercelana cindai. Dalam cerita Sakuni mengidap sakit napas. Digambar tampak bahu tangan belakang agak naik, menandakan, bahwa orangnya mempunyai sakit napas. Matinya Sakuni melambangkan, bahwa orang pandai bicara yang tak jujur sepantasnya kalau dirobek-robek mulutnya.

Minggu, 07 Desember 2014

Cerita Wayang Wahyu Cakraningrat

Cerita wayang Wahyu Cakraningrat menceriterakan tentang perjalanan tiga orang satriya menempuh marabahaya dalam usahanya untuk dapat memperoleh kekuasaan. Ketiga satriya tersebut adalah raden Lesmana Mandrakumara, raden Samba Wisnubrata dan raden Abimanyu.
Wahyu Cakraningrat sendiri adalah wahyu yang dianggap sebagai syarat untuk mendapatkan kekuasaan tersebut. Konon, siapapun yang mendapatkannya maka keturunannya akan dapat memegang tampuk kekuasaan.

Untuk mendapatkan wahyu cakraningrat ini sendiri tidak mudah karena harus melalui laku tapa brata yang berat.
Semula wahyu Cakraningrat tersebut masuk kedalam tubuh raden Lesmana Mandrakumara yang melakukan tapanya di hutan Gangguwirayang. Namun Lesmana Mandrakumara tidak bisa mengontrol diri ketika muncul godaan dari putri Pamilutsih yang merupakan jelmaan dari dewi Maninten. Akhirnya wahyu cakraningrat keluar dari tubuhnya.

Orang kedua yang mendapatkan kesempatan berkah wahyu cakraningrat adalah raden Samba Wisnubrata. Putra dari prabu Kresna itupun dianggap tidak lulus ketika ujian menghampirinya. Ketika dua orang, lelaki dan perempuan yang mengaku anak dan bapak menghampirinya dan ingin mengikutinya, dengan sikap sombong dan arogan dia mengusir sang bapak karena dianggap sudah terlalu tua untuk mengikutinya. Namun dia merayu anak perempuannya agar bersedia ikut dengannya. Lelaki tua dan anak perempuan itu akhirnya mengaku sebagai jelmaan dari wahyu cakraningrat dan dewi Waminten dan memutuskan bahwa wahyu cakraningrat tidak pantas berada dalam tubuh yang arogan. Dan keluarlah wahyu itu dari tubuh raden Samba.

Wahyu Cakraningrat kemudian masuk ke tubuh Abimanyu sebagai pertapa ketiga. Wahyu itu masuk ketika hari telah menjelang malam. Segera setelah mendapatkan wahyu, raden Abimanyu keluar dari pertapaannya. Tubuhnya segar, wajahnya terlihat berseri-seri bercahaya sebagai tanda wahyu Cakraningrat telah manjing bersatu dengannya. Ketika raden Abimanyu akan kembali pulang ke negerinya Amarta, ditengah jalan dicegat oleh para kurawa yang hendak merebut wahyu cakraningrat. Namun niat itu tidak berhasil dengan baik karena Abimanyu tetap bisa mempertahankan keberadaan wahyu itu dalam dirinya.

Prabu Kresna ketika mengetahui raden Samba anaknya gagal mendapatkan wahyu cakraningrat, berkehendak menikahkan salah seorang putrinya, Dewi Siti Sundari, dengan Abimanyu. Harapannya agar kelak keturunannya dapat menjadi penguasa. Namun dewa berkehendak lain karena Siti Sundari ternyata mandul. Abimanyu hanya mempunyai satu putra yaitu Parikesit dari rahim dewi Utari. Kelak, Parikesit yang akan menjadi penerus tahta kerajaan Astina setelah perang Bharatayudha berakhir. Konon, Parikesit juga dianggap sebagai orang yang telah menurunkan raja-raja yang berkuasa di pulau Jawa.

Jumat, 05 Desember 2014

Cerita Wayang Karno Tanding

Karno tanding adalah pertempuran terbesar dalam perang Bharatayudha. Pertempuran antara adipati Karno disatu sisi melawan Arjuna disisi lain.

Arjuna dan adipati Karno sebenarnya adalah saudara sekandung berlainan ayah. Dilahirkan dari ibu bernama Kunti Nalibronto, Arjuna merupakan anak dari Pandu Dewanata.
Sedangkan adipati Karno lahir karena kesalahan Kunti dimasa mudanya yang telah menyalahgunakan Ajian Pameling untuk memanggil dewa Surya. Oleh dewa Surya, Kunti diberi seorang anak yang dititipkan ke rahimnya.
Merasa malu karena hamil tanpa adanya suami, akhirnya anak yang lahir lewat telinga Kunti tersebut di larung ke sungai Gangga. Kelak anak yang bernama Basukarno tersebut ditemukan oleh seorang kusir kerajaan bernama Adiroto

Karno tanding adalah pertempuran dua saudara kandung berlainan ayah yang mempunyai kepandaian dan kesaktian yang seimbang. Sebelum pertempuran bharatayudha, Kunti telah mempertemukan keduanya dan memohon kepada adipati Karno agar mau bergabung dengan Pandawa untuk melawan Kurawa.  Namun permintaan tersebut ditolak oleh Adipati Karno. Sebagai satriya yang telah dibesarkan dan diangkat derajatnya oleh Duryudana, tidak sepantasnya Karno berkhianat. Adipati Karno merasa telah banyak berhutang budi. Dan kewajiban dia sebagai satriya untuk membalasnya.

"Ibu...Saya tidak dendam kepada ibu yang telah membuang saya ke sungai gangga ketika masih bayi. Itu semua adalah takdir yang harus saya jalani. Namun demikian saya tidak dapat mengabulkan permohonan ibu untuk bergabung dengan saudara-saudara saya Pandawa. Bukan karena saya tidak mencintai mereka. Tapi lebih dikarenakan saya telah berhutang budi kepada Kurawa, khususnya Duryudana. Duryudanalah yang telah membesarkan saya dan mengangkat derajat saya. Saya tidak mau menjadi satriya pengecut yang hanya muncul disaat-saat senang dan lari ketika mereka membutuhkan saya. Apa kata Dewata jika saya melakukan itu. Ma'afkan saya, Ibu..." demikian adipati Karno memberikan penjelasannya.
Seketika suasana haru menyelimuti dada mereka. Tidak ada kata yang terucap selain hanya airmata yang membasahi pipi. Mereka berpelukan lama.

Akhirnya perang Bharatayudhapun pecah. Adipati Karno muncul dengan kereta perangnya dengan prabu Salya sebagai kusirnya. Sementara di pihak lain, Arjuna muncul dengan kereta perang yang dikusiri prabu Kresna.
Ketika pertempuran terjadi, keduanya saling menghujankan anak panah. Tetapi tak satupun mengenai keduanya. Sepertinya keduanya sama-sama tidak tega melukai lawannya. Kadang kala hujan panah antara keduanya berhenti sesaat hanya untuk sekedar saling beradu pandang.

Mengetahui gelagat seperti itu, prabu Kresna yang menjadi sais kereta perang Arjuna mengambil strategi. Ketika Arjuna mulai memasang senjata andalannya panah pasopati ke gendewanya, sontak prabu Kresna menyentak tali kekang kudanya hingga kuda itu bergerak maju kedepan laksana terbang. Seketika panah pasopati melesat tepat menebas leher adipati Karno. Gugurlah anak dewa Surya itu tersungkur ke bumi.
Arjuna marah besar kepada prabu Kresna karena perbuatannya. Karena Arjuna memang tidak pernah berniat untuk mengarahkan pasopati ke adipati Karno.

" Ketika pertempuran semakin lama, akan semakin banyak memakan korban dari kedua belah pihak. Berarti rakyat pula yang nantinya akan menderita.
Ini pertempuran, Dimas. Ketika ada senopati yang gugur, itulah tugas mulia yang telah diembannya." prabu Kresna bertutur dengan bijak.

Pada akhirnya Arjunapun harus pasrah menerima takdir hidupnya sebagai senopati yang telah membunuh saudara kandungnya sendiri.
Inilah perang. Dalam perang selalu akan ada pihak yang tersingkir. Tidak peduli siapa yang benar. Karena kebenaran yang hakiki hanyalah milik Allah SWT semata. Wallahu'alam bishowab.