Minggu, 19 April 2015

Karakteristik Tokoh Wayang Drona

Drona lahir dalam keluarga brahmana (kaum pendeta Hindu). Ia adalah putera dari pendeta Bharadwaja, lahir di kota yang sekarang disebut Dehradun (modifikasi dari kata dehra-dron, guci tanah liat), yang artinya bahwa Drona atau Durna  berkembang  di luar tubuh manusia, yakni dalam Droon (tong atau guci).

Pada suatu hari,  Bharadwaja pergi bersama rombongannya menuju Gangga untuk mensucikan diri. Di sana ia melihat bidadari yang sangat cantik datang untuk mandi. Sang pendeta tidak mampu menguasai nafsunya sehingga menyebabkannya mengeluarkan air mani yang sangat banyak. Kemudian dia menampung air mani tersebut dalam sebuah pot atau drona, dan dari cairan tersebut Drona kemudian  lahir dan dirawat.

Drona menghabiskan masa mudanya dalam kemiskinan, ia belajar agama dan militer bersama-sama dengan pangeran dari Kerajaan Panchala bernama Drupada. Drupada dan Drona kemudian menjadi teman dekat dan Drupada, dalam masa kecilnya yang bahagia, berjanji untuk memberikan setengah kerajaannya kepada Drona pada saat menjadi Raja Panchala.

Drona menikah dengan Krepi, adik Krepa, guru dari kerajaan Hastinapura. Dari hasil pernikahan mempunyai putera bernama Aswatama.

Berguru pada Parasurama

Mengetahui bahwa Parasurama akan menularkan ilmu yang dimilikinya kepada para brahmana, Drona ingin ikut berguru. Namun ketika Drona datang, Parasurama telah memberikan segala ilmunya kepada brahmana yang lain. Merasa terharu  oleh keteguhan hati Drona, Parasurama memutuskan untuk menularkan  ilmu peperangan kepada Drona.

Drona dan Drupada

Demi kebutuhan hidup istri dan puteranya, Drona ingin terbebas dari kemelaratannya. Teringat kepada janji Drupada, Drona berkehendak memohon pertolongan. Namun sang Raja Drupada mengingkari pernah mempunyai janji kepada Drona
dan malahan memperlakukan Drona secara semena-mena. Untuk itulah, Drona pada akhirnya dendam dan berniat menuntut balas kepada Drupada.

Drona berangkat ke Hastinapura dengan harapan dapat mendirikan sekolah seni militer bagi para pangeran muda dengan meminta pertolongan Raja Dretarastra. Pada suatu hari, ia melihat banyak anak muda, yaitu para Korawa dan Pandawa yang sedang mengelilingi sumur. Ia bertanya kepada mereka tentang masalah apa yang terjadi, dan Yudistira, si sulung, menjawab bahwa bola mereka jatuh ke dalam sumur dan mereka tidak mengerti cara mengambilnya kembali.

Drona tertawa, dan menasihati mereka karena tidak berdaya menghadapi masalah yang sepele. Yudistira menjawab bahwa jika Sang Brahmana (Drona) mampu mengambil bola tersebut maka Raja Hastinapura pasti akan memenuhi segala keperluan hidupnya. Pertama Drona melempar cincin kepunyaannya, mengumpulkan beberapa mata pisau, dan merapalkan mantra Weda. Kemudian ia melempar mata pisau ke dalam sumur seperti tombak. Mata pisau pertama menancap pada bola, dan mata pisau kedua menancap pada mata pisau pertama, dan begitu seterusnya, sehingga membentuk sebuah rantai. Perlahan-lahan Drona menarik bola tersebut dengan tali.

Dengan keahliannya yang membuat anak-anak sangat terkesima, Drona merapalkan mantra Weda sekali lagi dan menembakkan mata pisau itu ke dalam sumur. Pisau itu menancap pada bagian tengah cincin yang terapung kemudian ia menariknya ke atas sehingga cincin itu kembali lagi. Karena terpesona, para bocah membawa Drona ke kota dan melaporkan kejadian tersebut kepada Bisma, kakek mereka.

Bisma segera sadar bahwa dia adalah Drona, dan dengan keberaniannya telah memberi contoh, Bhisma kemudian menawarkan agar Drona mau menjadi guru bagi para pangeran Kuru dan mengajari mereka seni peperangan. Kemudian Drona membangun  sekolah di dekat kota, dimana para pangeran dari berbagai kerajaan di sekitar negeri datang untuk belajar di bawah bimbingannya.

Saat para Korawa dan Pandawa menamatkan pendidikannya, Drona menyuruh agar mereka menangkap Raja Drupada yang memerintah Kerajaan Panchala dalam keadaan hidup-hidup. Duryodana, Dursasana, Wikarna, dan Yuyutsu mengerahkan tentara Hastinapura untuk menyerang Kerajaan Panchala, sementara Pandawa pergi ke Kerajaan Panchala tanpa pasukan perang. Arjuna menangkap Drupada serta membawanya ke hadapan Drona. Drona sesuai janji Drupada pada masa mudanya,  mengambil separuh dari wilayah kekuasaan Drupada, dan separuhnya lagi dikembalikan kepada Drupada.

Drupada tidak bisa menerima perlakuan Drona. Dengan dendam membara, Drupada melaksanakan persembahan agar dianugerahi seorang putera yang akan membunuh Drona dan seorang puteri yang akan menikahi Arjuna. Maka, lahirlah Drestadyumna, pembunuh Drona dalam peranh Bharatayuddha kelak, dan Dropadi, yang menikahi Arjuna dan para Pandawa.

Karakteristik Drona

Ketika mudanya, Durna bernama Bambang Kumbayana. Ketika itu Resi Durna begitu gagah dan tampan. Pakaian yang dikenakan Bambang Kumbayana selalu  mewah dan meyakinkan.  Tetapi ketampanannya menjadi hilang setelah dia dihajar habis-habisan oleh patih Gandamana.   Resi Durna selalu berkostum jubah   Pandhita.. Durna dikenal dengan watak ‘bermuka dua’ dan penuh prasangka buruk, meski ia menganggap dirinya sebagai  pandhita, namun. Drona juga dikenal sangat suka mendatangi para muridnya, agar dihormati oleh murid-murid dan keluarganya. Semua kebutuhannya disediakan.. Di balik jubahnya itu, Durna suka menyalahgunakan kebaikan  setiap orang yang minta pertolongan, untuk kepentingan Durna sendiri  Durna sering bercerita tentang keberhasilannya dalam menolong sesama, sehingga para tamunya terbius oleh bujukannya. Ia madeg sebagai paranormal, memang hanya untuk mengeruk keuntungan. Namun resminya, Durna adalah penasihat spiritual Astina dan Pandawa.

Jumat, 17 April 2015

Lakon Carangan


LAKON CARANGAN -  cerita carangan adalah lakon wayang yang keluar dari jalur pakem (standar) kisah Mahabarata atau Ramayana. Namun, para pemeran dan tempat-tempat dalam cerita carangan itu tetap menggunakan tokoh-tokoh Wayang Purwa yang berdasarkan Mahabarata atau Ramayana. Biasanya cerita carangan  dilakukan untuk menuhi pesanan dari pihak yang nanggap, atau untuk misi penerangan pemerintah.

Lakon carangan yang sudah terlalu jauh keluar dari jalur pakem, biasanya disebut lakon sempalan. Selain itu, dalam Wayang Purwa dikenal juga adanya lakon banjaran, yakni lakon yang khusus digubah oleh Ki Dalang tentang riwayat hidup lengkap (biografi) seorang tokoh wayang.

Cukup banyak lakon carangan kuno yang tidak sesuai dengan selera masyarakat penonton, akhirnya juga punah, tidak lagi dipergelarkan orang. Misalnya, beberapa lakon carangan yang menyangkut tokoh Bima: Bima Kacep, Bima Tulak, dan Bima Medamel.

Pada lakon-lakon itu diceritakan tentang Bima yang berbuat selingkuh dengan Dewi Uma; tentang Bima yang bertelanjang  berkeliling sawah dengan alat kelamin memancarkan sinar terang, dan Bima yang menanam ketan gondil agar dapat menurunkan raja-raja di Tanah Jawa.

Tema cerita lakon-lakon itu tidak sesuai dengan imajinasi masyarakat terhadap Bima, sehingga tidak diminati orang.

Lakon carangan yang beredar di daerah Surakarta dapat digolongkan menjadi tujuh golongan yakni:

1. Lampahan Raben (cerita perkawinan) contohnya: lakon Rabinipun Dursasana (perkawinan Dursasana); lampahan Rabinipun Wisanggeni (Perkawinan Wisanggeni) dan sebagainya.

2. Lampahan Wahyon (cerita wahyu) contohnya: Wahyu Pancadarma; Wahyu Tri Marga Jaya; Wahyu Widayat Pitu, Wahyu Triwibawa dan sebagainya.

3. Lampahan Malih-malihan (cerita perubahan wujud) contohnya: lakon Doraweca; Jayeng Katong; Samba Warangka; Suryadadari; Peksi Mas Merak; Rasatali-Talirasa dan sebagainya.

4. Lampahan Lahir-lahiran (cerita kelahiran) contohnya: lakon Lahiripun Danankusuma; Lahiripun Bambang Danasalira, Lahiripun Petruk, dan sebagainya.

5. Lampahan Murcan (cerita menghilang) contohnya: lakon Partawarayang; Jaka Brongsong; Turanggajati; Jongke Asmara Cipta, dan sebagainya.

6. Lampahan Lucon (cerita humor) contohnya lakon Petruk Kelangan Petel; Gareng Tetak; Bagong Dadi Ratu; Kresnadenta; Gareng Dadi Ratu, dan sebagainya.

7. Lampahan Wejangan (cerita tentang mistik) contohnya: lakon Senalodra; Gatotkaca Dados Guru; Pendawa Pitu; Arjuna Pitu; Arjuna Pingit; Mayangkara, dan sebagainya.

Prof. Dr. Soetarno salah seorang pengamat budaya wayang dari Surakarta mengatakan bahwa seluruh lakon Wayang Kulit gaya Surakarta dapat dibagi ke dalam dua bagian, yakni lakon pokok dan lakon carangan.

Lakon Pokok juga disebut lakon dapur, lakon jejer atau lakon lugu; menggambarkan cerita versi tradisional seperti yang dibawakan dalam Ramayana dan Mahabarata. Contohnya lakon Pandu Lahir.
Lakon Carangan tokoh-tokohnya mengambil dari lakon pokok, tetapi alur ceritanya sama sekali dibuat baru. Pada umumnya lakon-lakon tersebut disusun oleh para ahli pewayangan atau seniman dalang dan mempunyai fungsi pedagogis, dan kadang-kadang memuat kritik sosial atau ajaran spiritual.

Lakon carangan dapat dibedakam dalam tiga kategori :

1. Lakon Carangan Kadapur yang masih ada hubungannya dengan lakon pokok, berpegang pada tema yang sama dan menggunakan silsilah tokoh-tokoh yang sama.
Jenis lakon ini kurang lebih sifatnya seperti lakon-lakon pokok. Contohnya lakon Jaladara Rabi,  menceritakan perkawinan antara Kakrasana dengan Dewi Erawati. Lakon Utara dan Wiratsangka Krama, menceritakan perkawinan utara dan Wiratsangka putera raja Matswapati. Lakon Wirata Parwa, menceritakan pemunculan lagi para Pandawa di Wirata setelah mengalami pembuangan selama dua belas tahun.

2. Lakon Carangan adalah suatu cerita yang tidak ada sambungannya lagi dengan lakon-lakon pokok, dan ini benar-benar merupakan ciptaan baru. Contohnya lakon Dasa Warna, yang menceritakan Petruk menjadi raja di tanah sabrang; lakon Mustakaweni, yang menceritakan perkawinan antara Priyambada putra Arjuna dengan Mustakaweni.

3. Lakon Sempalan adalah jenis lakon yang mengambil tokoh utamanya sama dengan lakon pokok, tetapi temanya dirubah. Contohnya lakon Pregiwa Pregiwati yang menceritakan Endang Pregiwa dan Pregiwati mencari ayahnya dan pertemuan mereka dengan Gatotkaca, putra Bima; lakon Gatotkaca Sungging yang mengisahkan perkawinan antara Gatotkaca dengan Dewi Dahanawati anak Prabu Dahanamukti dari Kerajaan Dahanapura; lakon Swarga Bandang, yang mengisahkan Srikandi menyamar sebagai penari untuk mencari Arjuna di Swarga Bandang; lakon Dewa Ruci, menceritakan pertemuan Bima dan Dewa Ruci atau Bima mencari Tirta Pawitra (air kehidupan).

Tradisi pedalangan Surakarta juga terdapat jenis lakon pasemon (sindiran) atau gambaran terhadap peristiwa pada zaman kerajaan di Jawa. Lakon-lakon itu antara lain: lakon Swarga Bandang, yang dibuat pada zaman Panembahan Senapati di Mataram, merupakan penggambaran pada waktu bedah Mangir; lakon Rajamala, dibuat zaman kekuasaan Senapati di Mataram. Lakon ini pasemon terbunuhnya Arya Panangsang di Jipang Panolan; lakon Mustakaweni sampai lakon Petruk Dadi Ratu adalah pasemon kehidupan Paku Buwana I di Surakarta; lakon Gilingwesi (Werkudara Dadi Ratu) dibuat zaman Paku Buwana II, adalah pasemon bedahnya Keraton Kartasura; lakon Wijanarka ditulis pada zaman Paku Buwana III di Surakarta, adalah pasemon kembalinya Paku Buwana II dari Ponorogo setelah menjadi menantunya Anom Besari; lakon Suryaputra Maling dibuat pada zaman Paku Buwana III di Surakarta, adalah pasemon Pangeran Singasari menjadi pencuri; lakon Kresna Kembang dicipta pada zaman Paku Buwana IV di Surakarta, merupakan pasemon percintaan Ratu Pembayun dengan Raden Mas Hario Natawijaya.